Senin, 30 Mei 2011

Telapak dan IPB Dorong Pengembangan Community Logging

Sebuah langkah maju dalam pengelolaan hutan di Indonesia mulai dilakukan oleh Perkumpulan Telapak dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam pengembangan hutan berbasis masyarakat yang dikenal dengan nama”Community Logging”.

Kedua lembaga tersebut pekan lalu menyepakati sebuah perjanjian atau Memorandum of Understanding (MoU) yang bertempat di Gedung Alumni IPB Bogor pekan lalu (7/6). Penandatangan nota kesepakatan tersebut menjadi bagian dari gerakan “from illegal logging to community logging” yang saat ini sedang diwacanakan oleh Perkumpulan Telapak dan mitra kerjanya serta sejumlah pihak lainnya.

Kegiatan tersebut didahului dengan diskusi yang membahas permasalahan dan pengembangan community logging di Indonesia yang diikuti berbagai kalangan seperti dari Departemen Kehutanan (Dephut), Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Lembaga Ekolabel Indonesia, Telapak, IPB, Forest Wacth Indonesia (FWI), Aliansi Masyarakat Adat (AMAN), Jaringan untuk Hutan (JAUH) Sulawesi Tenggara dan Green Press (Perkumpulan Wartawan Lingkungan) dan sejumlah aktivis lingkungan.

Pihak Telapak (A.Ruwindrijarto) IPB (Dr Ir Didik Suharjito) dan Dephut (Lutfi) bertindak sebagai narasumber. Dalam pemaparannya Lutfi mengatakan, praktek hutan yang dilakukan masyarakat sesungguhnya dapat ditemukan di berbagai tempat di Indonesia seperti di Jawa Timur, Banten Jawa Barat dan luar Jawa dengan berbagai bentuk,”Ini adalah suatu fakta,”akunya.

Dikatakan, hutan tanah milik yang selama ini dikelola masyarakat telah memberikan kontribusi bagi perekonomian pedesaan dan fungsi ekologi seperti yang dipraktekan di daerah Gunung Progo yang melarang penebangan pohon.

Kehutanan lanjut Lutfi diamanatkan oleh UU untuk mengelola hutan untuk kesejahteraan rakyat melalui berbagai program seperti HKM (Hutan Kemasyarakatan) dan lain-lain. “Faktanya tidak sesuai tapi idenya bagus,”akunya.

Penyebab lainya gagalnya beberapa program HKM menurut Lutfi, adalah lemahnya kelembagaan dan akses pasar yang dimiliki masyarakat.”Banyak HKM yang pengelolaannya bukan dilakukan oleh rakyat, tetapi dilakukan oleh pengusaha karena lemahnya kelembagaan masyarakat,”paparnya.

Ia menekan agar community logging yang nanti akan memberikan ruang bagi rakyat dalam pengelolaan hutan agar tetap berpegang pada prinsip pelestarian hutan.

Hal senada juga diungkapkan, Dr Ir Didik Suharjito MS. Menurutnya pemerintah telah melakukan progres yang memberikan ruang bagi akses masyarakat melalui payung peraturan pemerintah (PP) No 41 tahun 1999 tentang kehutanan serta berbagai program kemitraan lainnya.”Semua itu membutuhkan dukungan dari semua pihak,”katanya.

IPB telah melakukan riset tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah dibukukan dan disebar luaskan.”Kami juga ingin berperan langsung dalam community logging. Kesempatan ini kami sambut baik, kami punya modal ilmiah,”ujarnya.

Modal ilmiah tersebut menurutnya bisa dipake untuk memecahkan masalah kehutanan serta mengurangi kemiskinan di pedesaan,”Kemiskinan ini bisa diatasi dengan community logging,”tuturnya.

Sementara Wakil Sekjen Aliansi Masyarakat Adat, Mahir Takaka dalam persentasenya mengatakan, masyarakat adat punya modal demokrasi melalui musyawarah adat sehingga pemerintah tak perlu meragukan kemampuan masyarakat dalam mengelola hutan, apalagi masyarakat memiliki kearifan lingkungan yang secara turun temurun tetap dipakai yang terbukti bisa melestarikan lingkungan seperti masyarakat Tanah Toraja Sulawesi Selatan dan Masyarakat yang berdomisili di areal Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah.

Diungkapkan pula, hingga saat ini jumlah komunitas masyarakat adat yang sudah terdaftar di AMAN yaitu sekitar 300 komunitas. Untuk membantu masyarakat adat tersebut AMAN menjalankan beberapa program diantaranya penguatan ekonomi masyarakat melalui kredit union dan pembentukan koperasi untuk mengatasi masalah kemiskinan serta pemberian layanan pendidikan dan kesehatan.

Selain itu, AMAN juga melakukan penguatan bagi masyarakat adat secara politik dengan cara merebut kepimpinan mulai dari tingkat desa hingga bupati.”Di Toroja, masyarakat telah merubah sistem pemerintahan menjadi pemerintahan adat,”ungkapnya.

Tidak ada komentar: