Kamis, 16 Juni 2011

Comlog - KHJL

Latar Belakang
Hutan memiliki penting dalam siklus karbon secara global, yaitu sebagai penyimpan karbon dari semua ekosistem terrestrial, dan bertindak sebagai penyerap karbon dalam beberapa kondisi tertentu. Besarnya CO2 (carbon dioksida) yang tersimpan dalam ekosistem hutan merupakan suatu penyangga penting dalam proses menjaga perubahan iklim (climate changes). Tetapi sangat disayangkan, konsentrasi gas rumah kaca (GRK) terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya emisi yang dilepas oleh berbagai aktivitas manusia.
Penyumbang utama emisi dalam seratus tahun terakhir ini berasal dari pembakaran bahan-bakar dari fosil (fossil fuel), termasuk di dalamnya minyak, gas dan batu-bara, untuk keperluaan bahan bakar kendaraan bermotor, kegiatan industri dan pembangkitan tenaga listrik. Kontribusi dari sektor ini diperkirakan mencapai sekitar 65% dari total emisi dunia (Stern, 2007). Walaupun demikian, kegiatan pertanian (14%), deforestasi (18%), kegiatan rumah-tangga dan pembuangan limbah, turut berkontribusi dalam melepaskan gas-gas pemanas, yaitu carbon (zat arang) dan metan ke udara. Untuk konteks di Indonesia, penyumbang terbesar emisi bagi gas rumah kaca, dihasilkan dari kebakaran dan penggundulan hutan (deforestasi). Eksploitasi yang tidak terkontrol, terutama akibat praktek-praktek penebangan liar (illegal logging), konversi hutan alam dan gambut untuk dijadikan perkebunan sawit dan pertambangan, pemberian ijin pemanfaatan kayu, serta kebakaran hutan merupakan faktor-faktor utama yang mempercepat terjadinya deforestasi di Indonesia (FWI/GFW, 2001).
Kemampuan hutan untuk menyerap karbon semakin terbatas, salah satunya disebabkan oleh laju deforestasi yang semakin cepat. Peran penting hutan yang sedianya berfungsi sebagai penyimpan (storage) maupun penyerap (sink) karbon akan berubah menjadi salah satu sumber penghasil emisi panas yang mempengaruhi konsentrasi gas rumah kaca (GRK). Untuk mencegah agar kondisi hutan tidak semakin rusak, dan tentunya akan berkontribusi dalam menjaga fungsi hutan sebagai penyimpan dan penyerap karbon, maka beberapa lembaga yang konsern terhadap pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan (sustainable forest management), diantaranya Perkumpulan Telapak, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan untuk Hutan (JAUH) – Sulawesi Tenggara dan Forest Watch Indonesia (FWI), mendorong community logging menjadi salah satu solusi dalam mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan.

Community Logging Sebagai Model Pengelolaan Hutan Alternatif.


Community Logging dapat diartikan sebagai aktifitas pengelolaan kawasan hutan dan pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu serta jasa lingkungan oleh komunitas adat/lokal, berdasarkan nilai dan norma yang berlaku (kearifan tradisional) dengan tetap menjaga kelestarian hutan dan keberlanjutan pengelolaannya. Community Logging bertujuan untuk memberikan sebuah alternatif dalam pengelolaan sumber daya hutan Indonesia yang lestari dan berkelanjutan serta dapat memberikan manfaat langsung bagi kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) di kabupaten Konawea Selatan merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat mampu mengelola hutannya secara lestari dengan diperolehnya sertifikat ekolabel dari Forest Stewardship Council (FSC), yang ketika itu difasilitasi oleh JAUH dan Tropical Forest Trust. Belajar dari pengalaman yang lalu, maka sudah saatnya kita mengembangkan sebuah model pengelolaan hutan yang tepat untuk menjawab masalah deforestasi di Indonesia. Dan pada akhirnya akan meningkatkan kembali fungsi hutan sebagai lokasi penyimpan (storage) maupun penyerap (sink) karbon. Model yang telah dibangun oleh KHJL bisa menjadi sebuah contoh untuk menjawab permasalahan yang ada dan harapannya mulai direplikasi pada daerah lain di Indonesia.

Community Logging Sebagai Model Penyimpan dan Penyerap Karbon


Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) dibentuk pada tanggal 18 Maret 2003 sebagai bagian dari Program Kehutanan Sosial Konawe Selatan. Program ini diprakarsai dan difasilitasi oleh Jaringan untuk Hutan (JAUH) - Sulawesi Tenggara, Dinas kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara, Balai pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) - Sampara, Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Selatan, Multistakeholder Forestry Programme dan Tim kelompok Kerja Kehutanan Sosial. Wilayah kelola KHJL yang terdiri dari kumpulan hutan milik masyarakat seluas ± 720 Ha dan tersebar di Kecamatan Andolo, Padangga, Lainea dan Konda. Hasil kegiatan inventarisasi KHJL tahun 2007, maka sekitar 413 Ha telah ditanami secara monokultur berupa jenis jati (Tectona grandis), sedangkan sisanya campuran jati dan mahoni (Swietenia sp.).
Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestry), merupakan tempat penyimpanan karbon (rosot C = C sink) yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan tanaman semusim. Hutan dengan keragaman jenis pepohonan yang berumur panjang dan memiliki serasah yang banyak, merupakan gudang persediaan karbon tertinggi (ICRAF, 2007). Berdasarkan potensi tegakan yang terdapat di wilayah kelola KHJL, maka kawasan hutan jati ini juga dapat menjadi lokasi penyerap dan penyimpan karbon yang memiliki potensi serapan yang cukup tinggi. Pendugaan simpanan karbon dapat dihitung dengan menggunakan persamaan allometrik untuk menghitung biomassa bagian atas tanaman jati (Tectona grandis).
Untuk mendapatkan pendugaan jumlah simpanan karbon dapat dihitung dengan cara seperti yang tertera di bawah ini: Dengan menggunakan persamaan di atas maka dapat menduga simpanan karbon pada hutan milik masyarakat dikelola oleh KHJL. Hasil perhitungan sementara dari studi awal (preliminary study) menggunakan data sekunder hasil inventarisasi hutan KHJL, dengan metode sensus 100% pada areal seluas kurang lebih 50,1 hektar atau sekitar 12,13 % dari total kawasan kelola hutan jati milik rakyat, menunjukan bahwa potensi jumlah karbon yang dapat disimpan pada tegakan jati milik masyarakat sebesar 13,7 ton/Ha. Bila akhirnya community logging akan dihargai sebagai sebuah inisiatif yang berperan penting untuk menyimpan maupun menyerap karbon maka hal ini akan memberikan nilai tambahan (added value) bagi skema pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan (sustainable forest management) yang berbasis masyarakat. Dan sudah tentu akan secara langsung memberikan tambahan insentif bagi masyakat dalam mengelola hutan.

Peluang dan Tantangan KHJL dalam Mengelola Hutan di Masa Depan

Program Hutan Tanaman Rakyat adalah sebuah inisiatif Departemen Kehutanan yang akan memberikan hak akses kepada masyarakat agar berperan aktif dalam mengelola kawasan hutan. Merespon program tersebut, maka saat ini KHJL sedang mengajukan sebuah usulan untuk mengelola kawasan hutan produksi dengan luas sekitar 28.116 Ha. Dari analisis citra satelit maka diketahui bahwa vegetasi aktual di kawasan tersebut adalah hutan alam dengan potensi rendah, areal bekas tanaman jati dari kegiatan reboisasi oleh pemerintah (1969/1970 – 1981/1982) dan areal bekas pembangunan hutan tanaman swakelola (1989/1990 – 1999/2000).
Bila pada suatu saat nanti, KHJL diberi ijin oleh pemerintah untuk mengelola kawasan hutan tersebut, walaupun dengan asumsi tidak seluruh kawasan hutan yang diajukan akan diberikan dengan pertimbangan teknis dan kelayakan lahan, maka bisa dibayangkan berapa besar karbon yang akan disimpan dan diserap dari kawasan hutan yang dikelola secara lestari dan berkelanjutan tersebut.

Tidak ada komentar: