Kamis, 04 Agustus 2011

Governansi Hutan dan Hak-hak Masyarakat

Sejak penandatangan LoI Pemerintah RI dengan Norwegia pada Mei 2010 dan terbitnya Inpres 10/2011, perdebatan isu pengelolaan hutan lebih didominasi oleh kebijakan moratorium.
Governansi yang menjadi substansi kebijakan justru luput dari perbincangan, juga pengabaian atas hak-hak masyarakat lokal yang sering mewarnai konflik. Seperti kasus yang mencuat pada konsesi HTI di Kepulauan Meranti akhir-akhir ini. Indonesia bisa gagal meraih dana hibah 1 miliar dolar AS dari Norwegia, jika tidak melakukan upaya serius dalam perbaikan governansi hutan.

Penggunaan istilah governansi adalah usulan terjemahan kata governance yang hingga saat ini belum ada yang tepat. Governansi merupakan tata cara penggunaan wewenang untuk mengatur kehidupan publik. Istilah governance populer sejalan dengan gerakan global demokratisasi dan kritik terhadap institusi negara. Governance mengambil-alih peran government sebagai fokus dalam kehidupan politik. Governansi ini kemudian diartikan sebagai penggunaan wewenang yang terbuka memperhitungkan berbagai aktor dalam masyarakat. Governansi adalah masalah pengelolaan kehidupan untuk semakin baik (Meuthia Ghani-Rochman, 2010).

Tenurial Hutan
Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan SK Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan adalah 133.300.543,98 hektare (Kemenhut, 2010). Kita bisa terkecoh dalam menafsirkan luas kawasan hutan itu seolah sama dengan luas hutan. Tulisan ini menegaskan bahwa luas kawasan hutan dalam SK tersebut berbeda dengan fakta luas hutan di lapangan.

Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Penunjukan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan merupakan manifestasi dari sistem penguasaan hutan oleh negara. Sistem penguasaan hutan oleh negara ini juga dikenal dengan sebutan tenurial hutan negara. Tenure berasal dari kata tenere dalam bahasa Latin yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki.

Kawasan hutan pertama kali diciptakan pada masa kolonial Belanda, ketika sejumlah besar wilayah Jawa dan Sumatera bagian Selatan ditetapkan sebagai hutan negara. Pemerintah kolonial membuat Dinas Kehutanan Dienst van het Boshwezen pada awal abat ke-19 dengan maksud penguasaan atas tanah, pohon, dan tenaga kerja hutan (Soepardi, 1974; dalam Peluso, 2006).

Realitas kehidupan bangsa kita dihadapkan pada kemajemukan suku-suku yang bertebaran di seantero nusantara. Setiap suku memiliki sistem aturan adat yang meliputi kepercayaan, budaya, hak-hak dan tangung jawab, hukum adat dan kebiasaan sehari-hari. Setiap komunitas memiliki sistem penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam dengan ciri lokal spesifik yang dikenal sebagai kearifan lokal (local wisdom), dan itulah wujud sistem tenurial masyarakat.

Sistem tenurial yang berkembang di masyarakat sering berbenturan dengan sistem penguasaan negara atas hutan dan sumber daya alam lainnya. Beberapa waktu lalu masyarakat Pulau Padang melakukan aksi-aksi protes terhadap operasional SK Menhut No 327/2009 tentang Izin Usaha HTI di Kepulauan Meranti. DPRD Kepulauan Meranti telah menyesalkan sikap Menhut yang menegasikan ribuan penduduk yang secara turun-temurun tinggal di pulau tersebut.

Ketidakpastian kawasan hutan
Konflik antara masyarakat setempat dengan pemerintah telah mencuat sejak Orde Baru. Akar masalahnya adalah ketidakpastian kawasan hutan. Proses penataan batas untuk kepastian hukum kawasan hutan masih jauh dari kenyataan, sampai awal tahun 2005 baru mencapai sekitar 12 juta hektare atau sekitar 10 persen dari luas kawasan hutan saat itu (Hermosila dan Fay, 2006). Proses penataan batas ini memegang peranan penting, karena pada tahap ini harus melakukan identifikasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga di sepanjang batas dan dalam kawasan hutan (PP No 44/2004).

Minimnya capaian penaatan batas dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga di dalam kawasan mengakibatkan tumpang tindih hak dan sering menjadi pemicu konflik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, usaha kehutanan dan masyarakat lolal. Data mutakhir hasil kegiatan identifikasi desa-desa oleh Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (2007; 2009) ada 19.410 desa di dalam dan tepi kawasan hutan. Lembaga Riset Kehutanan Internasional (CIFOR) juga pernah mengangkat laporan penelitian yang menunjukkan ada sekitar 48,8 juta orang tinggal pada lahan hutan negara (Wollenberg, 2004). Ini berarti ada jutaan orang yang terancam hak-haknya, jika governansi hutan tidak dibangun secara transparan dan dengan partisipasi masyarakat.

Pendekatan Afirmatif
Penyelesaian hak-hak pihak ketiga di dalam kawasan hutan adalah PR pemerintah untuk menjamin hak-hak warga negara. Rakyat tidak boleh lagi menjadi korban ketidak-adilan penyelenggara negara. Konstitusi menegaskan bahwa penguasan negara atas bumi, air dan yang ada di atasnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemerintah harus melakukan pendekatan afirmatif (berpihak) bagi masyarakat. Jangan usir lagi rakyat yang mempertahankan hak-haknya pada lahan konsesi usaha para pemodal.

PP No 6/2007 telah membuka peluang akses masyarakat dalam kawasan hutan. Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Kemitraan dalam pengelolaan hutan harus menjadi prioritas pengelolaan hutan yang adil bagi rakyat. Demikian juga untuk masyarakat adat, harus ada terobosan politik keberpihakan. Pemerintahan Gus Dur telah memberikan tauladan kebijakan berpihak untuk perlindungan hak ulayat masyarakat Baduy (Perda Lebak No 32/2001). Mampukah pemerintah bertindak adil kepada rakyat dan melindungi hak-haknya dengan paradigma penguasaan hutan oleh Negara?***

Suwito, Kemitraan/Partnership for Governance Reform

Tidak ada komentar: