Senin, 08 Agustus 2011

Paradigma Baru Pengelolaan Hutan

Paradigma Baru Pengelolaan Hutan
Jurnal Nasional | Sabtu, 6 Aug 2011
Idham Arsyad

TAHUN 2011 ditetapkan sebagai Tahun Kehutanan Internasional. Berdasarkan resolusi PBB 63/193, penetapan Tahun Kehutanan Internasional dengan tema Forest for People dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan kesadaran dan memperkuat pembangunan pengelolaan hutan yang berkelanjutan di seluruh dunia untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.

Sebagai rangkaian dari peringatan Tahun kehutanan Internasional, 11-15 Juli 2011 di Lombok, diselenggarakan Konferensi Internasional tentang Tenurial, Tata Pemerintahan dan Usaha Kehutanan oleh Kementerian kehutanan bekerja sama dengan NGO internasional dan nasional pemerhati masalah kehutanan.Salah satu tuntutan konferensi ini adalah untuk melihat transisi penguasaan hutan di dunia, dari penguasaan oleh pemerintah ke arah terbukanya akses dan kepemilikan bagi penduduk asli, masyarakat, individu, dan perusahaan. Lambatnya transisi penguasaan hutan di berbagai negara menjadi penyebab lahirnya berbagai persoalan kehutanan, seperti: deforestasi dan degradasi sumber daya hutan, konflik tenurial dan kemiskinan masyarakat.

Problem Kehutanan di Indonesia
Laju deforestasi yang tak terkontrol serta kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah wajah buruk kehutanan kita. Fakta, deforestasi justru makin masif setelah reformasi. Di era Soeharto kerusakan hutan mencapai 1,7 juta per tahun. Namun pascareformasi melaju sampai 2,8 juta lebih per tahun. Ironisnya, justru kerusakan terparah di areal hutan lindung. Misalnya, yang terjadi di Sumsel: dari 569.310 hektare hutan lindung sebanyak 300 ribu hektare rusak atau mencapai 60 persen.

Demikian pula halnya dengan kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Data CIFOR (2000) menyebutkan, sekitar 48,8 juta orang tinggal di hutan negara dan sebanyak 10,2 juta dianggap miskin. Sebanyak 20 juta orang tinggal di desa-desa dekat hutan dan 6 juta di antaranya kehidupan mereka bergantung pada hutan.

Akibat lanjutan dari persoalan di atas adalah statistik konflik tenurial di wilayah hutan terus meningkat dari tahun ke tahun. Data KPA menyebutkan, sejak Orde Baru sampai tahun 2010, terdapat 202 konflik di areal hutan. Di antara konflik tersebut bahkan disertai tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), seperti: penembakan, penangkapan, dan pembunuhan warga masyarakat. Data LBH Semarang menyebutkan, sepanjang tahun 1998-2008 telah terjadi penembakan dan penganiayaan terhadap 69 petani karena berkonflik dengan Perhutani.

Kejadian paling mutakhir adalah tewasnya Ahmad Adam (50), petani warga Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung, Jambi, setelah peluru laras panjang milik Brimob menembus kepalanya (8/11). Tragedi ini dipicu oleh sengketa lahan di kawasan hutan antara masyarakat Senyerang dengan PT Wira Karya Sakti seluas 7.224 hektare yang tidak kunjung selesai.

Selain itu, degradasi sumber daya hutan terus terjadi. Akibatnya, bencana ekologis terus berlangsung. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, dalam lima tahun terakhir telah terjadi 4.408 bencana alam. Antara lain, tanah longsor sebanyak 469 peristiwa, banjir: 1.916 peristiwa, banjir disertai longsor 158 peristiwa, dan kekeringan: 1.083 peristiwa.

Paradigma Baru
Untuk mengatasi berbagai persoalan kehutanan tersebut diperlukan strategi dan pendekatan baru dalam pengelolaan hutan. Selama ini, pengelolaan hutan terlalu bertumpu pada negara (state based forest management). Pemerintah menjadi aktor paling dominan dalam mengurus hutan, sehingga akses stakeholder dan pemangku kehutanan lainnya sangat terbatas.

Pendekatan state based ini dianggap penyebab terjadinya deforestasi, degradasi hutan, konflik tenurial, dan kemiskinan masyarakat. Karena, dalam praktiknya, kuasa pemerintah atas hutan dengan cepat beralih ke pengusaha kehutanan dengan memudahkan pemberian izin.

Sampai 1991, pemerintah telah mengeluarkan izin 576 unit dengan total penguasaan tanah mencapai 60,2 juta hektare (APHI, 1991). Pascareformasi, meski konsesi berkurang tetapi jumlahnya masih signifikan. Sampai saat ini masih terdapat 299 unit HPH dengan total penguasaan tanah mencapai 25.384.650 hektare (Kemenhut, 2009).
Kecenderungan perubahan eksploitasi dari ekstraksi kayu dan hutan alami menjadi kehutanan perkebunan (HTI) terjadi pascareformasi. Tahun 2001, total luas areal perkebunan kehutanan mencapai 67 ribu hektare. Saat ini luas Hutan Tanaman Industri mencapai 8.441.976 hektare (Kemenhut, 2009).

Data di atas menggambarkan ketimpangan yang ekstrem antara penguasaan hutan oleh pengusaha dengan penguasaan tanah oleh petani. Bayangkan, saat ini kurang lebih 19 ribu desa masuk dalam kawasan hutan yang nasibnya tidak jelas. Karena, bila berdasar UU No 41/1999 tentang Kehutanan, maka semua penduduk di desa-desa tersebut adalah penghuni ilegal karena tinggal di kawasan hutan negara.

Luasnya daratan Indonesia yang masuk dalam kategori kawasan hutan (mencapai 70 persen) telah mengakibatkan ketimpangan antarsektor, khususnya karena wilayah pertanian semakin sempit. Padahal, setiap tahun jumlah rumah tangga petani terus meningkat dari 30,2 juta tahun 1993 menjadi 37,7 juta tahun 2003, sementara luas tanah yang dikuasai terus berkurang dari 70,0 persen tahun 1993 menjadi 64,5 persen tahun 2003 (BPS, 2003).

Karena itu, diperlukan paradigma baru dalam pengelolaan hutan, yakni membuka akses kepemilikan masyarakat atas wilayah hutan. Bukan sebatas akses pengelolaan hutan dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa dan Kemitraan. Upaya lain, mempercepat penetapan kawasan hutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat lebih luas serta menyepakati satu peta penggunaan tanah dan sumber daya alam.

Tidak ada komentar: