Kepulauan Yapen, Oktober 2011.
Apa yang dibayangkan jika masyarakat adat di Kepulauan Yapen, mau belajar berhitung menggunakan rumus analisis
vegetasi? Belajar penjumlah, pembagian dan perkalian layaknya seorang anak
sekolah? Apapula reaksi mereka ketika mengetahui ada kesalahan kubikasi (1 M3)
dalam penjualan kayu merbau? Belajar apa itu koperasi? Bagaimana cara membuat
peta partisipatif? Dan apa rahasia dibalik suksesnya penyelenggaraan Kegiatan Kader
Kehutanan di Kabupaten Kepulauan Yapen?
Yups, itulah fenomen yang terjadi di Kampung Asai,
salah satu wilayah di Distrik Windesi, Kabupaten Yapen - Papua. Selama beberapa
hari Kampung Asai banyak dikunjungi oleh masyarakat dari beberapa wilayah,
diantaranya Kampung Papuma, Kampung Windesi, dan Kampung Aisau. Sebanyak 33
orang berkumpul untuk belajar menjadi kader kehutanan. Belajar bersama bagaimana
mengelola kawasan hutan sesuai dengan konsep pengeloaan hutan lestari
berdasarkan kearifan lokal.
Bertempat di sekolah dasar, para peserta yang hadir mengikuti
proses belajar layaknya anak sekolah pada umumnya. Pelajaran dimulai jam 9 pagi
dan berakhir jam 4 sore, kemudian dilanjutkan jam 7 – 9 malam (tentative). Padatnya
jadwal belajar dikarenakan banyaknya materi yang disampaikan, meskipun begitu
tidak nampak keluh kesah dari seluruh peserta yang hadir.
Sebelum acara dimulai, kegiatan
dimulai dengan pengenalan Telapak dan Samdhana sebagai lembaga yang
memfasilitasi kegiatan tersebut. Kemudian menyampaikan maksud dan tujuan
sekaligus ramah tamah untuk saling mengenai diantara peserta dan fasilitator.
Secara keseluruhan kegiatan berlangsung selama 5 hari, dimulai pada hari rabu
dan berakhir pada hari minggu sore.
Selama proses belajar, peserta diajarkan mengenai konsep
koperasi sebagai unit bisnis dalam menjalankan tata kelola hutan. Pada materi
ini masyarakat diajarkan apa itu koperasi dan bagaimana menjalankan roda
organisasi tersebut, sekaligus membahas mengenai Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART), struktur kelembagaan dan pembahasan mengenai
Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi. Hal ini penting karena
koperasi merupakan suatu wadah dalam menjalankan bisnis organisasi untuk mendorong
peningkatkan ekonomi di tingkat lokal sehingga tercapai kemandirian ekonomi.
Materi lain yang
diajarkan bagaimana menghitung kubikasi menggunakan rumus analisis vegetasi, layaknya
mahasiswa di fakultas kehutanan. Seperti mengitung rumus volume, V : ¼ x π x d2 x T x f (angka bentuk : 0,7) dan
menghitung diameter pohon dengan rumus d : K / π (nilai π = 3,14). Rumus-rumus yang dipakai tak
lazim mereka digunakan
sebelumnya, bahkan mereka baru mengenal rumus tersebut. Alhasil, dalam proses
penjualan kayu merbau mereka banyak dirugikan oleh para pembeli. Sebagai
contoh, biasanya masyarakat di Kampung Asai menjual satu kubik kayu merbau sebanyak
50 batang untuk ukuran 10 cm x 10 cm x 3 m. Setelah dihitung menggunakan rumus ternyata
hasilnya hanya 33 batang, sisa 15 batang tidak dihitung alias bonus. Banyangkan
berapa besar kerugian yang mereka harus tanggung jika kuota dalam 1 bulan
mencapai lebih dari 10 meter kubik? Dengan dasar inilah mereka akhirnya mau
belajar dengan serius dan mengganti kebiasaan lama karena dianggap merugikan dan
mengakhiri “tipu-tipu” oleh calon
pembeli.
Selain itu mereka diperkenalkan bagaimana membuat peta
partisipatif dengan menggunakan GPS (Global
Positioning System) untuk memastikan wilayah kelola. Karena terbatasnya alat
yang dibawa, serta mepetnya waktu belajar, praktek dalam pembuatan peta ini
belum dilakukan. Hal terpenting yiatu mereka memahami apa itu pemetaan
partisipatif, bagaimana tahapannya dan bagaimana membuatnya. Mengenai
prakteknya mungkin akan dilakukan dilain waktu dan kesempatan.
Semua materi yang diajarkan dikemas secara sederhana
dan praktis, sehingga memudahkan dalam pelaksanaan serta menambah pengalaman peserta
dalam implementasi kegiatan. Selain konsep belajar yang sederhana, proses
belajar banyak diselingi oleh permainan yang mereka biasa sebut “MOP”. Kegiatan
inilah yang membuat suasana menjadi akrab dan cair serta menimbulkan semangat
baru bagi para peserta yang sudah mulai pusing karena harus membaca, menghitung
dan lain sebagainya. Selain MOP, kegiatan diselingi juga dengan pemutaran film
sebagai hiburan sekaligus inpirasi bagi mereka. Tingginya minat belajar membawa
dampak positif bagi peserta sebagai bekal awal dalam proses pelaksanaan
pemberdayaan hutan bersama masyarakat atau Community Logging (Comlog) di wilayahnya
masing-masing.
Dari hasil penilaian cepat (rapid assessment) disesi terakhir, menunjukan hasil yang luar
biasa! Lebih dari 60% peserta menjawab mengerti dan cukup memahami semua materi
yang sudah disampaikan oleh tim fasilitator. Dan hampir seluruh peserta merasa
senang dan bahagia karena metode pembelajaran membuat mereka termotivasi untuk
mau belajar. Mereka pun memiliki komitmen yang tinggi, karena dari awal sampai
akhir kegiatan jumlah peserta tidak berkurang 1 orang pun.
Selain materi yang disampaikan, peserta juga diberikan
beberapa PR (tugas) diantaranya, 1) mengindetifikasi potensi dari masing-masing
wilayah, kemudian mempresentasikannya kepada peserta yang lain. 2) membuat
Rencana Tindak Lanjut (RTL). Penugasan yang diberikan merupakan tindak lanjut
dari proses yang sudah diajarkan selama beberapa hari. Bentuk dari penugasan
harus berhubungan dengan proses pembelajaran dan materi yang sudah diajarkan,
dibuat berdasarkan kebutuhan dan kesepakatan bersama di masing-masing wilayah.
Lamanya proses penugasan sekitar 3-4 bulan, dilaksanakan berdasarkan inisiatif,
komitmen dan tanggung jawab bersama untuk mewujudkan cita-cita bersama, yaitu
keadilan ekologi dan kemandirian ekonomi di tingkat lokal. Pada fase penugasan,
proses monitoring dan evaluasi (monev) dilakukan secara bertahap dengan
melibatkan peran para pihak seperti Dinas Kehutanan Kabupaten dan Provinsi
sebagai “management authority” kawasan serta para pihak lainnya. Kegiatan
berikutnya akan dilanjutkan setelah melihat hasil dari monev tersebut (SA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar