Senin, 21 November 2011

Community Logging Sebuah Idiologi dalam Pengelolaan Hutan




Gerakan Community Logging
Munculnya inisiatif community logging tidak bisa lepas dari sejarah panjang perjalanan Telapak dalam memerangi praktik-praktik illegal logging, melalui kampanye dan advokasi yang telah dimulai sejak tahun 1996 sampai sekarang. Selama ini sudah banyak catatan sukses yang mengikuti perjalanan Telapak, dimulai dengan adanya operasi hutan lestari, lahirnya kebijakan-kebijakan di tingkat kementerian sampai dengan instruksi presiden[1], sampai dengan lahirnya perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral[2] yang semuanya mengarah untuk mempercepat pemberantasan praktik-praktik illegal logging dan penyeludupan kayu-kayu ilegal dari Indonesia.

Perjalanan ini pulalah yang membawa Telapak dalam menemukan permasalahan mendasar dalam pengelolaan kehutanan di Indonesia. Belum adanya jaminan terhadap kepastian kepemilikan lahan (land tenurial rights) menjadi faktor utama yang sering diwarnai oleh konflik tenurial terkait perebutan hak kepemilikan dan pengelolaan atas lahan serta ketidakadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan.  Dampak nyata yang terjadi adalah pemiskinan struktural karena tidak adanya pengakuan atas hak kepemilikan dan minimnya akses masyarakat yang tinggal di sekitar hutan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan sebagai sumber penghidupan mereka[3].

Gerakan community logging memaknai akan terjadinya perubahan mendasar dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Sebuah solusi yang ditawarkan untuk menghentikan maraknya praktik-praktik penebangan yang merusak dan tidak terkontrol, dengan mengarusutamakan masyarakat lokal dan adat menjadi pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya hutan secara berkelanjutan dan lestari.

“Community Logging” adalah sebuah sistem pengelolaan hutan dimana pengelolaan kayu, hasil hutan non kayu, dan jasa lingkungan dilakukan “secara lestari dan berbasis masyarakat”. Community Logging juga merupakan “inisiatif solusi (jawaban perbaikan)” atas pengelolaan
hutan dan sumberdaya hutan yang “tidak adil secara ekologis dan sosial” dalam bentuk “pengelolaan sumberdaya hutan “berbasis kepentingan masyarakat lokal/desa/adat”.

Pada intinya, community logging merupakan pengelolaan kawasan hutan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu, non-kayu, dan jasa ekologi hutan yang dilakukan secara lestari dan berkelanjutan berbasis masyarakat melalui kelembagaan lokal berbentuk koperasi.  Pemilihan kosa kata community logging didasari oleh adanya kebutuhan untuk menghilangkan stigma yang selama ini menganggap masyarakat tidak mampu mengelola sumber daya hutan dan memanfaatkan hasilnya berupa kayu. Di sisi lain pemilihan ini menjadi sebuah bahasa kampanye untuk melawan praktik-praktik illegal logging dan mendorong agar pemanfaatan kayu dilakukan secara lestari dan berkelanjutan.

Secara garis besar pembangunan community logging akan menjawab: (a) upaya pemberdayaan dan menciptakan sumber pendapatan ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan menuju kemandirian ekonomi lokal; (b) mengarusutamakan masyakarakat  agar tercapainya pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dari aspek ekologi serta kepastian hak atas sumberdaya hutan, dan (c) membuktikan bahwa masyarakat mampu mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan secara lestari melalui kelembagaan lokal yang berbentuk koperasi.

Potret Pengakuan dalam Pengelolaan Hutan

Lebih dari satu dasawarsa Telapak terlibat aktif dengan pengembangan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan untuk menciptakan kelestarian sumberdaya alam dan kemandirian ekonomi di tingkat lokal. Pengalaman tersebut untuk membuktikan bahwa masyarakat mampu mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan secara adil dan lestari melalui koperasi, karena itu community logging (comlog) identik dengan koperasi.

Inisiatif comlog sudah dilakukan di wilayah di Indonesia, beberapa diantaranya sudah berjalan dengan baik bahkan mendapatkan pengakuan atas kinerja yang sudah dilakukan. Adalah Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Lampung Tengah, ketiga wilayah tersebut sudah mendapatkan pengakuan di tingkat nasional dan internasional dalam pengelolaan kawasan hutan secara adil dan lestari dengan melibatkan masyarakat sekitar sebagai pelaku utama.

Bentuk pengakuan yang sudah diberikan melalui pemberian sertifikasi Standard dan Pedoman Verifikasi Legalitas Kayu pada Hutan Hak (SVLK) dan Forest Stewardship Council (FSC) melalui lembaga sertifikasi yang sudah terakreditasi. Berikut ketiga profile koperasi dampingan Telapak yang sudah mendapatkan sertifikasi SVLK dan FSC:

1.      Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL)
Koperasi Jaya Hutan Lestari (KHJL) dibentuk pada tahun 2004 di Kabupaten Konawe Selatan. Koperasi ini didirikan atas dasar keperihatinan masyarakat terhadap laju kerusakan hutan akibat tingginya pembalakan liar atau illegal logging di kawasan hutan produksi Konawe Selatan. Tujuan dibentuknya KHJL untuk membantu melestarikan kawasan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hal ini sesuai dengan Visi dan Misi KHJL untuk mendukung pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Sejauh ini unit usaha yang sudah dijalankan, diantaranya: 1) pengelolaan dan penjualan hasil hutan, 2) usaha pengelolaan peternakan dan 3) usaha simpan pinjam.

 
Gambar 1. Peta Sebaran Anggota KHJL

Saat ini Jumlah unit kerja KHJL di hutan rakyat terus berkembang dari 12 unit pada tahun 2004 telah berkembang menjadi 31 unit. Unit-unit tersebut tersebar di tujuh kecamatan, yaitu 1) Laeya, 2) Lainea, 3) Kolongo, 4) Palangga, 5) Baito, 6) Buke, dan 7) Andoolo. Jumlah anggota koperasi saat ini sebanyak 1.106 dengan jumlah 31 unit. Angka ini diperkirakan akan mengalami kenaikan setiap tahunnya sesuai dengan perkembangan, target dan capaian koperasi.


Gambar 2. Hutan Jati KHJL

Produk utama yang menjadi komoditi KHJL yaitu jati. Hingga tahun 2008 sudah ditanam lebih dari 60 ribu bibit jati, dengan luas lahan mencapai 1.600 hektar. Jatah Tebang Tahunan (JTT) KHJL pada tahun 2009 – 2013 mencapai 300 – 350 M3 square pertahun. Potensi ini mengalami peningkatan yang siginifikan karena adanya jaminan kualitas dan pengakuan dari lingkup nasional dan internasional melalui sertifikasi FSC dan SVLK. Hal ini sekaligus bukti nyata bahwa masyarakat lokal dapat mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan dengan baik sesuai aturan main yang berlaku.



Gambar 3. KHJL mendapatkan Sertifikasi FSC dan SVLK

Sejak dibentuk tahun 2004, KHJL memiliki prestasi yang luar biasa, diantaranya:
-       Mendapatkan sertifikasi FSC pada tahun 2005 hingga tahun 2011.
-       Menjadi juara 2 Koperasi Teladan tingkat Kabupaten Konawe Selatan
-       Mendapatkan sertifikasi SVLK pada tahun 2011
Banyaknya prestasi yang dimiliki KHJL, berdampak positif terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan anggota serta kelestarian sumberdaya hutan. Selain itu, lokasi ini sering dijadikan sebagai tempat penelitian berbagai lembaga maupun personal dalam pelaksanaan skema hutan kemasyarakatan.


1.      Koperasi Wana Lestari Menoreh
Sejarah pembentukan Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) dilakukan pada tahun 2008 di Kabupaten Kulon Progo. Pembentukan koperasi ini merupakan bagian dari program gerakan masyarakat sebagai lanjutan program GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Tujuan dari KWLM yaitu pengelolaan hutan dan konservasi yang lestari melalui revitalisasi pengetahuan adat dan kearifan lokal. Dimana kearifan lokal dan pengetahuan adat sejak masa lalu menjadi aturan untuk melestarikan lingkungan.

Semenjak dibentuk hingga saat ini sudah terdapaftar lebih dari 750 anggota dengan luas lahan lebih dari 500 hektar. Mereka tersebar di 18 desa/unit dalam empat kecamatan, yiatu Samigaluh, Kalibawang, Girimulyo, dan Nanggulan. Jumlah tersebut akan terus meningkat seiring dengan capaian dan target koperasi di masa mendatang.

 
Gambar 4. Peta Sebaran Anggota dan Kondis Tutupan Hutan KWLM

Dalam perkembangannya KWLM sudah melakukan banyak kegiatan, seperti:
-   Membuat data base potensi kayu tegakan milik anggota koperasi.
-   Membuat kebun bibit induk seluas 3000 M di Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh.
-  Bekerjsama dengan Credit Union Kharisma Taliasih  (CUKATA) untuk program simpan pinjam.
-  Mendirikan PT. Poros Nusantara Utama cabang Jogja untuk membangun industry pengolahan kayu.
-   Memproduksi empon-empon organic (jahe, kunyit, dll). 
-   Memproduksi beras organic.
Gambar 5. Potensi dan Progam KWLM

Kinerja yang selama ini dilakukan oleh KWLM akhirnya membuah hasil yang luar biasa dengan diberikannya sertifikasi hutan lestari FSC dari SmartWood/The Rainforest Alliance pada bulan Maret tahun 2011. Pemberian sertifikat ini merupakan pengakuan yang nyata dalam pengelolaan hutan lestari dan pelaksanaan lacak balak (chain of custody) oleh masyarakat lokal. Dengan diberikannya sertifikasi FSC menjadi tantangan tersendiri bagi KWLM untuk terus menjaga dan membuktikan bahwa masyarakat mampu mengelola dan menjaga kelestarian hutan.

Saat ini KWLM memiliki 4 jenis kayu bersertifikasi FSC yaitu, jati, sengon, sonokeling dan mahoni. Jatah Tebang Tahunan (JTT) KWLM mencapai 505 M3, dengan komposisi jati 147 M3, sengon 211 M3, sonokelong 10 M3, dan mahoni 137 M3. Target yang sudah didapatkan tentunya masih sedikit, karena itu KWLM mentargetkan JTT 2000 M3 di masa mendatang. Pemberian sertifikasi ini secara tidak langsung berdampak positif terhadap nilai kayu yang akan dijual, sehingga meningkatkan nilah tambah bagi petani. Peningkatan harga jual merupakan konsekuensi logis karena adanya jaminan kualitas dan legalitas dari asal kayu tersebut.
Gambar 6. Sertifikasi Hutan Lestari FSC untuk KWLM


1.      Koperasi Giri Mukti Wana Tirta
Community Logging Giri Mukti Wana Tirta (Comlog GMWT) merupakan sebuah organisasi yang anggotanya merupakan pemilik hutan rakyat di Kabupaten Lampung Tengah. Lembaga ini didirikan pada Bulan Maret 2011 di Desa Pekandangan, Kecamatan Pubian, Kabupaten Lampung Tengah. Sejarah terbentuknya koperas ini karena maraknya pembalakan liar dan pembukaan pada kawasan hutan lindung Register 39 Kota Agung Utara Wilayah Kecamatan Pubian, Lampung Tengah.

Tujuan dari koperasi ini untuk 1) meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup anggota dan masyarakat umum, 2) menjadi gerakan ekonomi rakyat dalam membangun tatanan perekonomian. Lokasi kerja koperasi GMWT mencakup 5 desa, yaitu Pekandangan, Tawang Negeri, Kantor Baru, Payung Dadi, dan Payung Makmur. Setiap desa diwakili oleh 1 koordinator untuk melakukan koordinasi, komunikasi dan memberi informasi kepada anggota. Berikut informasi mengenai 5 lokasi comlog di Pubian:
1.      Hutan Rakyat Kampung  Pekandangan Kec. Pubian, Luas 75 hektar.
2.      Hutan Rakyat Kampung Tawang Negeri Kec. Pubian, Luas 25 ha hektar.
3.      Hutan Rakyat Kampung Kota Batu Kec. Pubian, 100 hektar.
4.      Hutan Rakyat Kampung Payung Dadi Kec. Pubian, luas 25 hektar.
            5.   Hutan Rakyat kampung Payung Makmur Kec. Pubian, luas 50 hektar.


Gambar 7. Peta Sebaran Comlog di Kecamatan Pubian



Produk usaha koperasi comlog GMWT terdiri dari: a) produk kayu: sengon, jati, akasia, mahoni, dan cempaka. b) produk bukan kayu: lada, kopi, coklat, rempah-rempah, dll. Sedangkan untuk potensi tegakan yang dimiliki, terdiri dari:

-       Potensi tegakan Kampung Pekandangan 2.255 Batang

-       Potensi tegakan Kampung Tawang Negri 2.893 Batang

-       Kampung tegakan Kota Batu 2.397 batang

-       Kampung tegakan Payung  Dadi 241 batang

-       Kampung Tegakan Payung Makmur 1.182 batang 
Saat ini luas areal yang digarap sekitar 275 hektar, dengan jumlah anggota 365 orang.


Gambar 8. Potensi kayu



Jaminan ketersedian bahan baku kayu di tingkat lokal harus didukung dengan suatu instrument yang jelas sehingga tidak menyebabkan degradasi hutan dan illegal logging di wilayah tersebut. Saat ini Pemerintah sudah menetapkan kebijakan melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak dan Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu. Momentum ini tentunya dimanfaatkan oleh Koperasi Comlog GMWT untuk mendapatkan pengakuan dari Kementerian Kehutanan.


Tepatnya pada Bulan November 2011 merupakan momentum yang pas sekaligus membahagiakan bagi Koperasi Comlog GMWT karena mendapatkan sertifikasi Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari Direktorat Jenderal Bina Usaha Produksi (Ditjen BUK) Kementerian Kehutanan. Instrument ini untuk merespon permintaan pasar bahan baku kayu dengan memastikan bahwa unit manajemen atau industry sudah menggunakan bahan baku legal yang dibuktikan dan dilindungi dengan dokumen legalitas. Hal ini penting untuk menjamin ketersedian bahan baku di tingkat lokal.


Tentunya manfaat dari sertifikasi ini dapat berdampak positif serta ikut meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan, selain itu manfaat lain yang diperoleh yaitu:

  1. Memperluas pangsa pasar ke negara-negara yang mensyaratkan adanya jaminan legalitas kayu yang diimpor. 
  2. Dapat melakukan “self-endorsement” untuk Unit Manajemen yang memperoleh Sertifikat Legalitas Kayu dengan warna hijau, kuning dan biru (menggunakan bahan baku dari sumber yang telah bersertifikat PHPL, VLK, dan pencampuran antara PHPL dan VLK). 
  3. Membangun image positive masyarakat internasional.


Gambar 9. Sertifikat SVLK Koperasi Comlog GMWT





(sandika ariansyah)




[1]               Intruksi presiden No. 5 tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia
[2]               Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa menyepakati perjanjian Forest Law Enforcement Goverment and Trade-Voluntary Parnership Agrement (FLEGT-VPA), Mei 2011
[3]               Berdasarkar studi CIFOR pada Governance Brief: “Mengapa Kawasan Hutan Penting bagi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, 2004”,  mengatakan bahwa masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan sekitar 49 juta dan  10 juta diantaranya dikategorikan miskin.

Tidak ada komentar: