Gerakan Community Logging
Munculnya inisiatif community
logging tidak bisa lepas dari sejarah panjang perjalanan Telapak dalam
memerangi praktik-praktik illegal logging,
melalui kampanye dan advokasi yang telah dimulai sejak tahun 1996 sampai
sekarang. Selama ini sudah banyak catatan sukses yang mengikuti perjalanan
Telapak, dimulai dengan adanya operasi hutan lestari, lahirnya
kebijakan-kebijakan di tingkat kementerian sampai dengan instruksi presiden[1],
sampai dengan lahirnya perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral[2]
yang semuanya mengarah untuk mempercepat pemberantasan praktik-praktik illegal
logging dan penyeludupan kayu-kayu ilegal dari Indonesia.
Perjalanan ini pulalah yang membawa Telapak dalam
menemukan permasalahan mendasar dalam pengelolaan kehutanan di Indonesia. Belum
adanya jaminan terhadap kepastian kepemilikan lahan (land tenurial rights)
menjadi faktor utama yang sering diwarnai oleh konflik tenurial terkait
perebutan hak kepemilikan dan pengelolaan atas lahan serta ketidakadilan dalam
pengelolaan sumberdaya hutan. Dampak
nyata yang terjadi adalah pemiskinan struktural karena tidak adanya pengakuan
atas hak kepemilikan dan minimnya akses masyarakat yang tinggal di sekitar
hutan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan sebagai sumber
penghidupan mereka[3].
Gerakan community
logging memaknai akan terjadinya perubahan mendasar dalam pengelolaan hutan
di Indonesia. Sebuah solusi yang ditawarkan untuk menghentikan maraknya
praktik-praktik penebangan yang merusak dan tidak terkontrol, dengan
mengarusutamakan masyarakat lokal dan
adat menjadi pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya hutan secara
berkelanjutan dan lestari.
hutan dan sumberdaya hutan yang “tidak adil secara ekologis dan sosial” dalam bentuk “pengelolaan sumberdaya hutan “berbasis
kepentingan masyarakat lokal/desa/adat”.
Pada intinya, community
logging merupakan pengelolaan kawasan hutan untuk memanfaatkan hasil hutan
berupa kayu, non-kayu, dan jasa ekologi hutan yang dilakukan secara lestari dan
berkelanjutan berbasis masyarakat melalui kelembagaan lokal berbentuk
koperasi. Pemilihan kosa kata community logging didasari oleh adanya
kebutuhan untuk menghilangkan stigma yang selama ini menganggap masyarakat
tidak mampu mengelola sumber daya hutan dan memanfaatkan hasilnya berupa kayu.
Di sisi lain pemilihan ini menjadi sebuah bahasa kampanye untuk melawan
praktik-praktik illegal logging dan
mendorong agar pemanfaatan kayu dilakukan secara lestari dan berkelanjutan.
Secara garis besar pembangunan community logging akan
menjawab: (a) upaya pemberdayaan dan menciptakan sumber pendapatan ekonomi bagi
masyarakat sekitar hutan menuju kemandirian ekonomi lokal; (b) mengarusutamakan
masyakarakat agar tercapainya
pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan dengan tetap menjaga
kelestarian fungsi hutan dari aspek ekologi serta kepastian hak atas sumberdaya
hutan, dan (c) membuktikan bahwa masyarakat mampu mengelola dan memanfaatkan
sumber daya hutan secara lestari melalui kelembagaan lokal yang berbentuk
koperasi.
Potret Pengakuan dalam Pengelolaan
Hutan
Lebih dari satu dasawarsa Telapak terlibat aktif dengan pengembangan
masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan untuk menciptakan kelestarian sumberdaya
alam dan kemandirian ekonomi di tingkat lokal. Pengalaman tersebut untuk
membuktikan bahwa masyarakat mampu mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan
secara adil dan lestari melalui koperasi, karena itu community logging (comlog) identik dengan koperasi.
Inisiatif comlog sudah dilakukan di wilayah di Indonesia,
beberapa diantaranya sudah berjalan dengan baik bahkan mendapatkan pengakuan
atas kinerja yang sudah dilakukan. Adalah Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten
Kulon Progo dan Kabupaten Lampung Tengah, ketiga wilayah tersebut sudah mendapatkan
pengakuan di tingkat nasional dan internasional dalam pengelolaan kawasan hutan
secara adil dan lestari dengan melibatkan masyarakat sekitar sebagai pelaku
utama.
Bentuk pengakuan yang sudah diberikan melalui pemberian sertifikasi
Standard dan Pedoman Verifikasi Legalitas Kayu pada Hutan Hak (SVLK) dan Forest Stewardship Council (FSC) melalui
lembaga sertifikasi yang sudah terakreditasi. Berikut ketiga profile koperasi dampingan
Telapak yang
sudah mendapatkan sertifikasi SVLK dan FSC:
1. Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL)
Koperasi Jaya Hutan Lestari (KHJL) dibentuk
pada
tahun 2004 di Kabupaten Konawe Selatan. Koperasi ini didirikan
atas dasar keperihatinan masyarakat terhadap laju kerusakan hutan akibat tingginya
pembalakan liar atau illegal logging di
kawasan hutan produksi Konawe Selatan. Tujuan dibentuknya KHJL untuk membantu
melestarikan kawasan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hal ini
sesuai dengan Visi dan Misi KHJL untuk mendukung pengelolaan hutan secara
berkelanjutan. Sejauh ini unit usaha yang sudah dijalankan, diantaranya: 1)
pengelolaan dan penjualan hasil hutan, 2) usaha pengelolaan peternakan dan 3)
usaha simpan pinjam.
Gambar 1. Peta Sebaran Anggota KHJL
Saat ini Jumlah unit kerja KHJL di hutan rakyat terus
berkembang dari 12 unit pada tahun 2004 telah berkembang menjadi 31 unit. Unit-unit
tersebut tersebar di tujuh kecamatan, yaitu 1) Laeya, 2) Lainea, 3) Kolongo, 4)
Palangga, 5) Baito, 6) Buke, dan 7) Andoolo. Jumlah anggota koperasi saat ini
sebanyak 1.106 dengan jumlah 31 unit. Angka ini diperkirakan akan mengalami
kenaikan setiap tahunnya sesuai dengan perkembangan, target dan capaian koperasi.
Gambar 2. Hutan Jati KHJL
Produk utama yang menjadi komoditi KHJL yaitu jati.
Hingga tahun 2008 sudah ditanam lebih dari 60 ribu bibit jati, dengan luas
lahan mencapai 1.600 hektar. Jatah Tebang Tahunan (JTT) KHJL pada tahun 2009 –
2013 mencapai 300 – 350 M3 square pertahun. Potensi ini mengalami
peningkatan yang siginifikan karena adanya jaminan kualitas dan pengakuan dari
lingkup nasional dan internasional melalui sertifikasi FSC dan SVLK. Hal ini
sekaligus bukti nyata bahwa masyarakat lokal dapat mengelola dan memanfaatkan
kawasan hutan dengan baik sesuai aturan main yang berlaku.
Gambar
3. KHJL mendapatkan Sertifikasi FSC dan SVLK
Sejak dibentuk
tahun 2004, KHJL memiliki prestasi yang luar biasa, diantaranya:
-
Mendapatkan sertifikasi FSC pada tahun 2005 hingga tahun
2011.
-
Menjadi juara 2 Koperasi Teladan tingkat Kabupaten Konawe
Selatan
-
Mendapatkan sertifikasi SVLK pada tahun 2011
Banyaknya
prestasi yang dimiliki KHJL, berdampak positif terhadap peningkatan ekonomi dan
kesejahteraan anggota serta kelestarian sumberdaya hutan. Selain itu, lokasi
ini sering dijadikan sebagai tempat penelitian berbagai lembaga maupun personal
dalam pelaksanaan skema hutan kemasyarakatan.
1.
Koperasi
Wana Lestari Menoreh
Sejarah
pembentukan Koperasi Wana Lestari Menoreh (KWLM) dilakukan pada tahun 2008 di
Kabupaten Kulon Progo. Pembentukan koperasi ini merupakan bagian dari program
gerakan masyarakat sebagai lanjutan program GNRHL (Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Tujuan dari KWLM yaitu pengelolaan hutan dan konservasi
yang lestari melalui revitalisasi
pengetahuan adat dan kearifan lokal. Dimana kearifan
lokal dan pengetahuan adat
sejak masa lalu menjadi
aturan untuk melestarikan lingkungan.
Semenjak dibentuk hingga saat ini sudah terdapaftar
lebih dari 750 anggota dengan luas lahan lebih dari 500 hektar. Mereka tersebar
di 18 desa/unit dalam empat kecamatan, yiatu Samigaluh, Kalibawang, Girimulyo,
dan Nanggulan. Jumlah tersebut akan terus meningkat seiring dengan capaian dan
target koperasi di masa mendatang.
Gambar 4. Peta Sebaran
Anggota dan Kondis Tutupan Hutan KWLM
Dalam
perkembangannya KWLM sudah melakukan banyak kegiatan, seperti:
-
Membuat data base potensi kayu tegakan milik anggota
koperasi.
- Membuat kebun bibit induk seluas 3000 M di Desa
Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh.
- Bekerjsama dengan Credit Union Kharisma Taliasih (CUKATA) untuk program simpan pinjam.
- Mendirikan PT. Poros Nusantara Utama cabang Jogja untuk membangun
industry pengolahan kayu.
- Memproduksi empon-empon organic (jahe, kunyit, dll).
- Memproduksi beras organic.
Gambar
5. Potensi dan Progam KWLM
Kinerja
yang selama ini dilakukan oleh KWLM akhirnya membuah hasil yang luar biasa
dengan diberikannya sertifikasi hutan lestari FSC dari SmartWood/The Rainforest
Alliance pada bulan Maret tahun 2011. Pemberian sertifikat ini merupakan
pengakuan yang nyata dalam pengelolaan hutan lestari dan pelaksanaan lacak
balak (chain of custody) oleh
masyarakat lokal. Dengan diberikannya sertifikasi FSC menjadi tantangan
tersendiri bagi KWLM untuk terus menjaga dan membuktikan bahwa masyarakat mampu
mengelola dan menjaga kelestarian hutan.
Saat ini KWLM memiliki 4 jenis kayu bersertifikasi FSC
yaitu, jati, sengon, sonokeling dan mahoni. Jatah Tebang Tahunan (JTT) KWLM
mencapai 505 M3, dengan komposisi jati 147 M3, sengon 211
M3, sonokelong 10 M3, dan mahoni 137 M3.
Target yang sudah didapatkan tentunya masih sedikit, karena itu KWLM
mentargetkan JTT 2000 M3 di masa mendatang. Pemberian sertifikasi
ini secara tidak langsung berdampak positif terhadap nilai kayu yang akan
dijual, sehingga meningkatkan nilah tambah bagi petani. Peningkatan harga jual
merupakan konsekuensi logis karena adanya jaminan kualitas dan legalitas dari asal
kayu tersebut.
Gambar
6. Sertifikasi Hutan Lestari FSC untuk KWLM
1.
Koperasi
Giri Mukti Wana Tirta
Community Logging
Giri Mukti Wana Tirta (Comlog GMWT) merupakan sebuah organisasi yang anggotanya
merupakan pemilik hutan rakyat di Kabupaten Lampung Tengah. Lembaga ini didirikan
pada Bulan Maret 2011 di Desa Pekandangan, Kecamatan Pubian, Kabupaten Lampung
Tengah. Sejarah terbentuknya koperas ini karena maraknya pembalakan liar dan
pembukaan pada kawasan hutan lindung Register 39 Kota Agung Utara Wilayah
Kecamatan Pubian, Lampung Tengah.
Tujuan dari
koperasi ini untuk 1) meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup anggota dan
masyarakat umum, 2) menjadi gerakan ekonomi rakyat dalam membangun tatanan
perekonomian. Lokasi kerja koperasi GMWT mencakup 5 desa, yaitu Pekandangan,
Tawang Negeri, Kantor Baru, Payung Dadi, dan Payung Makmur. Setiap desa
diwakili oleh 1 koordinator untuk melakukan koordinasi, komunikasi dan memberi
informasi kepada anggota. Berikut informasi mengenai 5 lokasi comlog di Pubian:
1.
Hutan Rakyat Kampung
Pekandangan Kec. Pubian, Luas 75 hektar.
2.
Hutan Rakyat Kampung Tawang Negeri Kec. Pubian, Luas 25
ha hektar.
3.
Hutan Rakyat Kampung Kota Batu Kec. Pubian, 100 hektar.
4.
Hutan Rakyat Kampung Payung Dadi Kec. Pubian, luas 25
hektar.
5. Hutan Rakyat kampung Payung Makmur Kec. Pubian, luas
50 hektar.
Gambar 7. Peta Sebaran
Comlog di Kecamatan Pubian
Produk usaha koperasi comlog GMWT terdiri dari: a) produk kayu: sengon,
jati, akasia, mahoni, dan cempaka. b) produk bukan kayu: lada, kopi, coklat,
rempah-rempah, dll. Sedangkan untuk potensi tegakan yang dimiliki, terdiri
dari:
-
Potensi tegakan Kampung Pekandangan 2.255 Batang
-
Potensi tegakan Kampung Tawang Negri 2.893 Batang
-
Kampung tegakan Kota Batu 2.397 batang
-
Kampung tegakan Payung
Dadi 241 batang
- Kampung
Tegakan Payung Makmur 1.182 batang
Saat ini luas areal yang digarap sekitar 275 hektar,
dengan jumlah anggota 365 orang.
Gambar
8. Potensi kayu
Jaminan ketersedian bahan baku kayu di tingkat lokal harus
didukung dengan suatu instrument yang jelas sehingga tidak menyebabkan
degradasi hutan dan illegal logging di wilayah tersebut. Saat ini Pemerintah sudah
menetapkan kebijakan melalui Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau
pada Hutan Hak dan Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu. Momentum ini tentunya
dimanfaatkan oleh Koperasi Comlog GMWT untuk mendapatkan pengakuan dari
Kementerian Kehutanan.
Tepatnya pada Bulan November 2011 merupakan momentum yang
pas sekaligus membahagiakan bagi Koperasi Comlog GMWT karena mendapatkan sertifikasi
Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari Direktorat Jenderal Bina Usaha
Produksi (Ditjen BUK) Kementerian Kehutanan. Instrument ini untuk merespon
permintaan pasar bahan baku kayu dengan memastikan bahwa unit manajemen atau
industry sudah menggunakan bahan baku legal yang dibuktikan dan dilindungi
dengan dokumen legalitas. Hal ini penting untuk menjamin ketersedian bahan baku
di tingkat lokal.
Tentunya manfaat dari sertifikasi ini dapat berdampak
positif serta ikut meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar
kawasan hutan, selain itu manfaat lain yang diperoleh yaitu:
- Memperluas pangsa pasar ke negara-negara yang mensyaratkan adanya jaminan legalitas kayu yang diimpor.
- Dapat melakukan “self-endorsement” untuk Unit Manajemen yang memperoleh Sertifikat Legalitas Kayu dengan warna hijau, kuning dan biru (menggunakan bahan baku dari sumber yang telah bersertifikat PHPL, VLK, dan pencampuran antara PHPL dan VLK).
- Membangun image positive masyarakat internasional.
Gambar 9. Sertifikat SVLK Koperasi Comlog
GMWT
(sandika ariansyah)
[1] Intruksi presiden No. 5 tahun
2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal di Kawasan Hutan dan
Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia
[2] Pemerintah Indonesia dan Uni
Eropa menyepakati perjanjian Forest Law Enforcement Goverment and
Trade-Voluntary Parnership Agrement (FLEGT-VPA),
Mei 2011
[3] Berdasarkar studi CIFOR pada
Governance Brief: “Mengapa Kawasan Hutan Penting bagi Penanggulangan Kemiskinan
di Indonesia, 2004”, mengatakan bahwa
masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan sekitar 49 juta dan 10 juta diantaranya dikategorikan miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar